*Imamah *
*
*
*Dr Hamid Fahmy Zarkasyi *
Direktur INSISTS
Salah satu konsep penting yang membedakan antara Ahlussunnah dan Syi’ah adalah imamah (kepemimpinan). Setelah Nabi wafat persoalan yang pertama timbul adalah siapa “pengganti” Nabi sebagai pemimpin. Istilah yang disepakati untuk pengganti oleh para sahabat wak tu itu khalifah. Karena khawatir akan berarti Khalifatu Allah (pengganti Allah), maka Abu Bakar segera menegaskan artinya Khalifatu Rasulillah.
Tapi, menurut Syi’ah pengganti Nabi bukan khalifah, tapi imam (pemimpin). Kata imam dalam Alquran tidak khusus. Ada istilah imam orang kafir (a’immatul kufr), artinya pemimpin, imam rakyat (imam alra’iyyah) artinya khalifah, imam tentara (imam al-jundi) adalah jenderalnya, imam para imam (imam al-a’immah) adalah gelar Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan istilah khalifah atau imam me nurut Sunni dan Syi’ah bukan soal baha sa, tapi sudah soal keyakinan. Sebab bagi Sunni, khalifah pengganti Nabi yang disepakati oleh para sahabat ada empat, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan terakhir Ali bin Abi Talib.
Tapi, bagi Syi’ah yang menjadi pengganti Nabi hanyalah Ali bin Abi Talib dan anak cucunya. Dan itu, menurut Syi’ah merupakan ketetapan Allah. Dalam kitab Shiah al-Usul min al-Kafi, kitab al-Hujjah juz 1 hal 277, disebut bahwa keimamam Ali adalah ketetapan dari Allah dan diketahui oleh orang per orang.
Tapi, dalam kitab Nahjul Balaghah Ali menolak menjadi pengganti Utsman bin Affan dan bahkan akan patuh kepada siapa pun yang jadi khalifah. Kepada Talhah dan Zubair, ia mengatakan, “Sungguh, aku tidak ingin menjadi khalifah atau kekuasaan seperti ini.“ (Nahjul Balaghah, Khutbah ke-29). Apakah berarti Ali menolak ketetapan Allah?
Sementara itu, Syi'ah tidak mengakui ketiga khalifah itu sebagai khalifah apalagi sebagai imam. Imam hanyalah Ali dan Ali itu bukan khalifah. Anak turunan Ali yang dianggap mewarisi kepemimpinan Ali adalah 2) Hasan, 3) Husain, 4) Zainal Abidin, 5) alBaqir, 6) Ja'far al-Sadiq, 7) Musa al-Kazim, 8) Ali Ridha, 9) Muhammad al-Jawad, 10) Ali al-Hadi, 11) Hasan Askari 12) Muhammad yang ditunggu atau al-Mahdi.
Umat Islam yang Sunni (ahlussunnah wal jamaah) tidak membedakan gelar khalifah dan imam. Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah nya dan al-Mawardi dalam alAhkam al-Sultaniyyah, dan juga Rasyid Ridhaimam, khilafah, imamah al-`Udhma dan amir al-mu'minin adalah sama yaitu pengganti Rasul dalam menjaga agama dan politik dunia (siyasatal-dunya).
Karena, istilah imam maknanya sama dengan khalifah, maka al-Mawardi, al-Taftazani, dan al-Iji sependapat bahwa imam adalah pemimpin umum dalam agama dan berperan sebagai pengganti Nabi, tapi mem punyai kekuasaan terbatas. Batasannya dijelaskan oleh Abdul Ghani dalam alKhilafah wa Sultatu-l-Imamah, yaitu tidak berhak meletakkan syariah, menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Hukum yang dikeluarkan oleh mereka bersifat ijtihadiyah.
Jadi, dalam mazhab Sunni, khalifah ha nya pemimpin agama dan politik. Ia bisa di tegur dan bisa dikritik oleh rakyatnya jika sa lah. Namun, dalam Syi’ah tidak demikian. Da lam kitab al-Kafi, imam adalah sederajat de ngan nabi-nabi. Imam adalah wakil Allah dan Rasul. Dengan mempercayai imam, maka shalat, zakat, puasa, haji, rampasan, sedekah menjadi sah. Imam bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Imam itu suci dari dosa, bebas dari aib. Imam itu memiliki kelebihan khusus tan pa mencari dan menguasahakannya karena diberi oleh Allah.
Menurut al-Mufid Ulama Mazhab Imamiyah, seperti dikutip dalam kitab Biharl al-Anwar, karya al-Majlisi (Juz 23 hal 230) yang mengingkari salah seorang dari 12 orang imam atau menolak untuk taat seper ti yang diwajibkan Allah, maka ia telah “kafir dan masuk neraka”. Bahkan, menurut Khomaini (seperti dikutip Ihsan Ilahi Zahir) derajat imam tidak mungkin dicapai malai kat yang paling dekat dengan Tuhan sekali pun atau oleh Nabi yang diutus oleh Allah.
Namun, Dr Ahmad Mahmud Subhi dalam bukunya al-Imamah Laday al-Shi’ah al-Ihna Ashriyyah mempertanyakan, mengapa kepemimpinan politik tiba-tiba berubah menjadi akidah? Padahal, Nabi sendiri sebagai pemimpin politik tidak mengklaim bahwa segala keputusannya dari Allah dan harus ditaati sebagai akidah.
Pada peristiwa perang Badar misalnya, umat Islam berhenti pada tempat yang
tak berair. Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah keputusan ber henti di sini ini atas perintah Allah atau dari diri Rasulullah sendiri?” Nabi menjawab, “Itu dari ide saya sendiri.” Sahabat lalu mengusulkan agar berhenti di tempat yang ada airnya. Nabi pun mengatakan, “Anda benar!” Ini menunjukkan bahwa keputusan pemimpin (imam) dalam Sunni adalah masalah ijtihadiyah, bukan otoritas mutlak seorang pemimpin. Apalagi, pemimpin dalam Alquran diperintahkan untuk bermusyawarah.
Masalahnya, jika orang Syi’ah mengklaim pendukung Ali akan selamat, penentangnya kafir dan celaka. Dan, pendukung selain Ali adalah sesat dan musyrik. Sementara, menurut Imam Syi’ah sendiri, yaitu Sayyid Murtadho dari Ja’far tidak begitu. Buktinya, Ali sendiri pernah berkhutbah “Abu Bakar dan Umar adalah Imam yang bijaksana … orang yang paling utama setelah Nabi. Jika Abu Bakar tidak pantas jadi khalifah, aku pasti tidak tinggal diam”.
Maka siapa yang benar? ■
<http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/01/19/ArticleHtmls/Misykat-Imamah-19012012026014.shtml?Mode=1>
http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/01/19/ArticleHtmls/Misykat-Imamah-19012012026014.shtml?Mode=1
--
::
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang. Now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest. N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs. Im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können::>> al-Ra'd [13]: 28
*
*
*Dr Hamid Fahmy Zarkasyi *
Direktur INSISTS
Salah satu konsep penting yang membedakan antara Ahlussunnah dan Syi’ah adalah imamah (kepemimpinan). Setelah Nabi wafat persoalan yang pertama timbul adalah siapa “pengganti” Nabi sebagai pemimpin. Istilah yang disepakati untuk pengganti oleh para sahabat wak tu itu khalifah. Karena khawatir akan berarti Khalifatu Allah (pengganti Allah), maka Abu Bakar segera menegaskan artinya Khalifatu Rasulillah.
Tapi, menurut Syi’ah pengganti Nabi bukan khalifah, tapi imam (pemimpin). Kata imam dalam Alquran tidak khusus. Ada istilah imam orang kafir (a’immatul kufr), artinya pemimpin, imam rakyat (imam alra’iyyah) artinya khalifah, imam tentara (imam al-jundi) adalah jenderalnya, imam para imam (imam al-a’immah) adalah gelar Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan istilah khalifah atau imam me nurut Sunni dan Syi’ah bukan soal baha sa, tapi sudah soal keyakinan. Sebab bagi Sunni, khalifah pengganti Nabi yang disepakati oleh para sahabat ada empat, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan terakhir Ali bin Abi Talib.
Tapi, bagi Syi’ah yang menjadi pengganti Nabi hanyalah Ali bin Abi Talib dan anak cucunya. Dan itu, menurut Syi’ah merupakan ketetapan Allah. Dalam kitab Shiah al-Usul min al-Kafi, kitab al-Hujjah juz 1 hal 277, disebut bahwa keimamam Ali adalah ketetapan dari Allah dan diketahui oleh orang per orang.
Tapi, dalam kitab Nahjul Balaghah Ali menolak menjadi pengganti Utsman bin Affan dan bahkan akan patuh kepada siapa pun yang jadi khalifah. Kepada Talhah dan Zubair, ia mengatakan, “Sungguh, aku tidak ingin menjadi khalifah atau kekuasaan seperti ini.“ (Nahjul Balaghah, Khutbah ke-29). Apakah berarti Ali menolak ketetapan Allah?
Sementara itu, Syi'ah tidak mengakui ketiga khalifah itu sebagai khalifah apalagi sebagai imam. Imam hanyalah Ali dan Ali itu bukan khalifah. Anak turunan Ali yang dianggap mewarisi kepemimpinan Ali adalah 2) Hasan, 3) Husain, 4) Zainal Abidin, 5) alBaqir, 6) Ja'far al-Sadiq, 7) Musa al-Kazim, 8) Ali Ridha, 9) Muhammad al-Jawad, 10) Ali al-Hadi, 11) Hasan Askari 12) Muhammad yang ditunggu atau al-Mahdi.
Umat Islam yang Sunni (ahlussunnah wal jamaah) tidak membedakan gelar khalifah dan imam. Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah nya dan al-Mawardi dalam alAhkam al-Sultaniyyah, dan juga Rasyid Ridhaimam, khilafah, imamah al-`Udhma dan amir al-mu'minin adalah sama yaitu pengganti Rasul dalam menjaga agama dan politik dunia (siyasatal-dunya).
Karena, istilah imam maknanya sama dengan khalifah, maka al-Mawardi, al-Taftazani, dan al-Iji sependapat bahwa imam adalah pemimpin umum dalam agama dan berperan sebagai pengganti Nabi, tapi mem punyai kekuasaan terbatas. Batasannya dijelaskan oleh Abdul Ghani dalam alKhilafah wa Sultatu-l-Imamah, yaitu tidak berhak meletakkan syariah, menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Hukum yang dikeluarkan oleh mereka bersifat ijtihadiyah.
Jadi, dalam mazhab Sunni, khalifah ha nya pemimpin agama dan politik. Ia bisa di tegur dan bisa dikritik oleh rakyatnya jika sa lah. Namun, dalam Syi’ah tidak demikian. Da lam kitab al-Kafi, imam adalah sederajat de ngan nabi-nabi. Imam adalah wakil Allah dan Rasul. Dengan mempercayai imam, maka shalat, zakat, puasa, haji, rampasan, sedekah menjadi sah. Imam bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Imam itu suci dari dosa, bebas dari aib. Imam itu memiliki kelebihan khusus tan pa mencari dan menguasahakannya karena diberi oleh Allah.
Menurut al-Mufid Ulama Mazhab Imamiyah, seperti dikutip dalam kitab Biharl al-Anwar, karya al-Majlisi (Juz 23 hal 230) yang mengingkari salah seorang dari 12 orang imam atau menolak untuk taat seper ti yang diwajibkan Allah, maka ia telah “kafir dan masuk neraka”. Bahkan, menurut Khomaini (seperti dikutip Ihsan Ilahi Zahir) derajat imam tidak mungkin dicapai malai kat yang paling dekat dengan Tuhan sekali pun atau oleh Nabi yang diutus oleh Allah.
Namun, Dr Ahmad Mahmud Subhi dalam bukunya al-Imamah Laday al-Shi’ah al-Ihna Ashriyyah mempertanyakan, mengapa kepemimpinan politik tiba-tiba berubah menjadi akidah? Padahal, Nabi sendiri sebagai pemimpin politik tidak mengklaim bahwa segala keputusannya dari Allah dan harus ditaati sebagai akidah.
Pada peristiwa perang Badar misalnya, umat Islam berhenti pada tempat yang
tak berair. Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah keputusan ber henti di sini ini atas perintah Allah atau dari diri Rasulullah sendiri?” Nabi menjawab, “Itu dari ide saya sendiri.” Sahabat lalu mengusulkan agar berhenti di tempat yang ada airnya. Nabi pun mengatakan, “Anda benar!” Ini menunjukkan bahwa keputusan pemimpin (imam) dalam Sunni adalah masalah ijtihadiyah, bukan otoritas mutlak seorang pemimpin. Apalagi, pemimpin dalam Alquran diperintahkan untuk bermusyawarah.
Masalahnya, jika orang Syi’ah mengklaim pendukung Ali akan selamat, penentangnya kafir dan celaka. Dan, pendukung selain Ali adalah sesat dan musyrik. Sementara, menurut Imam Syi’ah sendiri, yaitu Sayyid Murtadho dari Ja’far tidak begitu. Buktinya, Ali sendiri pernah berkhutbah “Abu Bakar dan Umar adalah Imam yang bijaksana … orang yang paling utama setelah Nabi. Jika Abu Bakar tidak pantas jadi khalifah, aku pasti tidak tinggal diam”.
Maka siapa yang benar? ■
<http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/01/19/ArticleHtmls/Misykat-Imamah-19012012026014.shtml?Mode=1>
http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/01/19/ArticleHtmls/Misykat-Imamah-19012012026014.shtml?Mode=1
--
::
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang. Now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest. N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs. Im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können::>> al-Ra'd [13]: 28
No comments:
Post a Comment