Tuesday, February 28, 2012

Apa Yang Menyebabkan Karir Seseorang Cemerlang?

Artikel – Apa Yang Menyebabkan Karir Seseorang Cemerlang?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Catatan Kepala:Ditengah bejibunnya orang yang pusing dengan bayaran rendah, ada sejumlah orang yang terus membangun kecemerlangan karirnya sehingga tidak lagi pusing soal angka yang tertera dalam slip gajinya.”
 
Kita tidak bisa mengetahui masa depan secara pasti. Tetapi urusan karir, dari dulu saya percaya bahwa kita bisa memperkirakan masa depan. Misalnya, kita bisa melihat orang-orang yang bekerja di sekitar kita. Dan kita, bisa memperkirakan siapa yang akan menjadi manager lalu terus menanjak menjadi senior manager, direktur bahkan presiden direktur. Kita juga bisa memperkirakan siapa yang akan mentok, atau yang hanya akan begitu-begitu saja sepanjang karirnya. Saya pernah melakukan uji coba sendiri, dengan mengamati orang-orang yang bekerja sebagai profesional. Meski tidak 100% akurat, tetapi boleh dibilang ‘hampir 100%” perkiraan saya benar. Tidak butuh menjadi paranormal untuk ‘meramalkan’ masa depan karir seseorang. Cukup melihat sikap, perilaku, dan tindakannya selama bekerja sehari-hari, maka kita bisa ‘meramalkan’ masa depan karirnya. Anda pun bisa menjadi peramal karir. Minimal meramalkan masa depan karir Anda sendiri. Mau?
 
Kemarin siang sebelum meeting, tanpa diduga saya bertemu dengan seorang sahabat. Hanya sebentar sekali karena kami sedang sama-sama dikejar jadwal masing-masing. Walhasil, hanya sempat bertukar kartu nama. Bahagia saya membaca titelnya sebagai seorang pemimpin puncak sebuah perusahaan di pusat bisnis mentereng kelas atas. Saya mengenal sahabat saya itu sejak masuk kampus dulu. Meskipun sudah jarang bertemu, saya memperhatikan beliau dari jauh. Membaca perkembangannya di jejaring para profesional. Hingga kemarin, saya bertemu beliau sekali lagi. Bagi saya, beliau adalah salah seorang model profesional yang dengan tekun membangun karirnya setapak demi setapak sampai berada di puncak. Ditengah bejibunnya orang yang pusing dengan bayaran rendah, ada sejumlah orang yang terus membangun kecemerlangan karirnya sehingga tidak lagi pusing soal angka yang tertera dalam slip gajinya. Ini adalah pertanda bahwa mereka mengetahui cara yang kebanyakan orang lain tidak mengetahuinya. Kita butuh berguru atau meniru orang-orang seperti itu. Khususnya ditengah hiruk pikuk protes dan kekesalam begitu banyak karyawan soal bayaran atau jenjang karirnya yang tidak kunjung memperlihatkan perbaikan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar dari mereka yang berhasil membangun karir cemerlangnya, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:  
 
1.      Memiliki visi terhadap masa depan karirnya sendiri. Bukan hanya perusahaan yang membutuhkan visi. Kita pribadi pun demikian. Mengapa? Karena visilah yang bisa memberi kita kekuatan untuk terus melangkah maju ketika tiba masa-masa sulit atau jebakan berbagai godaan. Kehidupan kerja kita, tidak selamanya mudah. Namun, setiap kali berpegang teguh pada visi; semua cobaan itu menjadi semakin kecil. Selama bekerja, kita juga dihadapkan pada banyak godaan. Banyak sudah orang yang kepeleset. Namun, selama kita mengingat visi pribadi kita, maka kita akan sanggup berkelit agar terbebas dari jerat yang bisa menodai perjalanan karir kita. Bukankah banyak orang cemerlang yang berguguran hanya karena ketahuan melakukan satu kesalahan fatal dalam karirnya? Bangunlah visi pribadi yang kokoh untuk masa depan karir Anda. Maka Insya Allah, Anda bisa lebih sanggup untuk menghadapi beratnya cobaan, dan mengatasi semenggiurkan apapun godaan.
 
2.      Terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Saya memperhatikan orang-orang yang saat ini menduduki posisi-posisi penting dalam karirnya. Menelisik ke belakang sewaktu mereka baru memulai karir itu sebagai fresh graduate alias belum berpengalaman apapun. Ternyata, mereka tidak beda banyak dengan kebanyakan orang lainnya. Sama grogi dan culunnya seperti kita. Ilmunya juga tidak terlampau jauh dari kita. Tetapi, mereka melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya, yaitu; terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Begitu banyak orang yang merasa cukup dengan semua pengetahuan dan keterampilan kerja yang dimilikinya. Sehingga dengan semua kehebatannya itu, mereka merasa sudah memuncaki kualitas profesionalnya. Tak jarang mereka mempermasalahkan; kenapa gue yang hebat ini dibayar segini doang!?. Beda banget dengan orang-orang yang patut menjadi model yang saya sebutkan tadi. Meskipun ilmunya semakin tinggi, mereka tidak pernah merasa sudah tinggi. Mereka teruuuus saja meningkatkan kualitas profesionalismenya. Makanya, orang yang merasa hebat dan canggih sering ketinggalan oleh mereka yang terus mengasah diri. Karena mereka yang terus belajar dan meningkatkan diri menapaki tingkatan yang semakin tinggi dan tidak tertandingi.
 
3.      Membuat kinerja tinggi dengan optimalisasi diri. Setiap karyawan dipekerjakan untuk mengkontribusikan kinerja dalam kadar tertentu. Tertera dalam job descriptonnya, dan dipaparkan secara detail melalui strategic objective tahunannya. Banyak orang yang kinerjanya bagus, memang. Namun kebanyakan orang mendedikasikan  kinerja tinggi itu hanya untuk uang semata. Maka ketika imbalan yang diterima mereka nilai tidak sepadan dengan kontribusi yang mereka berikan kepada perusahaan, mereka kemudian ‘mengerem’ kinerjanya hingga menjadi biasa-biasa saja. Maka kinerja tingginya pun segera berakhir. Para model profesional itu berbeda. Mereka tidak memusingkan soal imbalan sekarang. Karena mereka percaya bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar imbalan, yaitu; aktualiasi dari kemampuan dirinya. Mereka terus saja fokus kepada usaha-usaha mengoptimalkan kapasitas diri. Makanya, tidak heran jika kinerja tingginya tidak terpengaruh oleh faktor luar. Dalam jangka pendek, mungkin tidak ada bedanya imbalan yang mereka terima dengan apa yang didapatkan oleh orang lain yang bekerja biasa-biasa saja. Namun dalam jangka panjang, cepat atau lambat mereka akan memperoleh perbedaan secara signifikan.
 
4.      Membangun reputasi 360 derajat. Karir seseorang tidak bisa dibangun hanya dengan reputasi baik dihadapan orang-orang terntentu. Mungkin memang ada orang yang karirnya menanjak hanya karena reputasi baik di depan atasannya belaka. Namun tetap saja, karir yang dibangun dengan reputasi 360 derajat jauh lebih berbobot dan lebih lestari. Apa artinya reputasi 360 derajat itu? Yaitu reputasi tinggi yang kita bangun di hadapan semua orang yang berkaitan dengan karir kita. Bukan hanya bagus di hadapan atasan, melainkan juga bagus di mata kolega, bawahan, departemen lain, pelanggan, bahkan pesaing-pesaing kita. Pendek kata, reputasi yang dibangun di hadapan orang-orang sekeliling kita. Orang yang berhasil membangun reputasi 360 derajat ini pada saatnya kelak akan berhasil memanen buahnya berupa kepercayaan dan kesempatan yang tidak dipertanyakan keabsahannya. Karena semua orang tahu, bahwa dia memang layak mendapatkannya. Jika belum terasa manfaatnya, konsisten dan bersabar saja.
 
5.      Tetap rendah hati meski memiliki posisi tinggi. Diantara orang-orang yang berhasil membangun karir cemerlangnya, memang ada banyak yang sombong, angkuh dan lupa diri. Namun, sejauh yang saya ketahui sebagian besar diantaranya justru adalah mereka yang tetap rendah hati. Mereka tidak merendahkan orang lain hanya karena posisinya lebih tinggi. Justru mereka memuliakan orang lain dengan jabatan tinggi yang disandangnya. Lagi pula, jika posisi kita sudah tinggi; mengapa kita harus bersikap tinggi hati, kan? Karena tanpa diminta pun orang lain akan menghormati kita. Hanya saja, apakah penghormatan orang lain itu tulus atau tidak; sangat ditentukan oleh cara kita membawakan diri. Kita mungkin menaruh hormat kepada orang berposisi tinggi namun tinggi hati. Namun, kita kan tidak tulus menghormati mereka. Beda sekali dengan rasa hormat yang kita berikan kepada orang yang berposisi tinggi namun tetap rendah hati. Mereka benar-benar layak mendapatkan penghormatan setulus hati. Itulah sebabnya, mengapa hati kecil kita sering berharap orang tinggi hati segera diganti oleh orang-orang yang berkualitas tinggi namun tetap rendah hati.
 
Orang bilang, sulit sekali membangun karir di zaman yang penuh persaingan ini. Anggapan itu hanya cocok bagi orang-orang yang tidak mengetahui caranya. Sedangkan bagi orang-orang berilmu, kenaikan jenjang karir itu seperti naik tangga sebuah gedung yang indah. Perlahan tapi pasti. Setapak, demi setapak. Hingga akhirnya bisa sampai ke puncak. Bahkan, diantara mereka ada yang tahu jalur cepatnya. Maka seperti naik lift saja, mereka bisa menuju kesana dengan cara-cara yang mengagumkan. Jika kita masih merasa sulit membangun karir ini. Atau tergoda untuk menyalahkan boss dan lingkungan kerja yang tidak mendukung, mungkin sudah saatnya untuk belajar kepada mereka yang mengetahui bagaimana cara mengatasinya. Carilah orang-orang seperti itu.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman  28 Februari 2012
Author & Trainer of Natural Intelligence Leadership
 
Catatan Kaki:
Bukan tidak mungkin untuk menapaki jejang karir yang lebih tinggi. Barangkali kita tidak tidak tahu caranya saja. Atau tidak bersungguh-sungguh menapaki jalannya.

Sunday, February 26, 2012

Leadership During Turbulent Times

Picture this scene: You are out sailing in your boat on a halcyon day. The sun is shining, there is a steady wind, and you are looking forward to a great day. All of a sudden, a squall blows up, and although you manage to get the sail down and keep the boat from keeling over, it's a tough fight before you are finally able to steer the boat to shore.
 
Leadership can be like this. There you are, sailing along smoothly, and before you know it, a squall hits. If you are prepared, you know that you can choose to either lower the sails and wait out the storm, or to meet it headlong and fight. Sometimes the latter course might work; more often than not, the former is the more sensible way.
 
Leadership has been extensively written about-there are books that tell you how to become a leader, how to continue being a leader, how leadership differs from mere management, how wisdom is gleaned from various great leaders-the list is endless. There is even a book on leadership for dummies. All basically promise to provide the necessary skills, characteristics or prerequisite steps required to be an effective leader.
 
But have you ever stopped to think about what you should not do as an effective leader? How to gauge exactly when you need to control, and when you need to let go of that control for the good of the organization? Do you even realize that sometimes you do need to let go? Running an organization, whether large or small, can be compared to steering a ship. So many known and unknown factors have to be weighed and balanced to ensure that the ship does not sink and that it makes progress. When a storm is about to hit, you need to be able to read the warning signs, weigh anchor, and ride out the storm. Similarly, as the leader of an organization, you need to be able to judge how to navigate through all of the external and internal forces that come into play so that the organization moves forward. Of the various aspects of leadership, one of the most important is the delicate balance between navigation and control.
 
Just as mariners need to navigate through the ocean, knowing when to hoist their sails to take advantage of a strong wind and when to weigh anchor to ride out a hurricane, or when to steer around an obstacle like an island, a leader must be able to interpret all the information about the organization as well as develop an intuitive knowledge of when to forge ahead and when to lie low. Leaders need to constantly chart the course ahead, keep track of possibly dangerous undercurrents, and be careful that they are not blown off course by the buffeting winds of an uncertain economy or business environment. At the same time, they cannot ignore the larger picture-that of the final destination of the ship.
 
But business is no longer smooth sailing. Instead, it can be compared to a river-rafting expedition down Class IV rapids, where you might encounter a hidden rock or whirlpool or be sent hurtling over a waterfall. An effective leader needs to be alert to all dangers lurking ahead, and be able to circumnavigate them in a way that does not affect his/her organization.
 
Now picture your organization as a river that is ever changing, and the employees as the guides whose talents you need to use to the best extent possible, your customers as the tourists. Your aim is to see that the customers have a smooth ride with your company, and that you and your employees know where the whirlpools and rocks might pop up during the journey. Ideally, your customers should enjoy the experience so much, and feel a sense of exhilaration and accomplishment that they come back repeatedly for more.
 
In the business world, leaders should be able to articulate their vision and goals, and provide direction and execution based on intimate knowledge of the macro-environment in which the organization works. They should be able to navigate and steer the company, be aware of all pitfalls like changing market standards that are out of their control, and use their judgment to be able to get the organization through hard times.
 
Thus, for a business leader, navigation is having the wisdom of knowing when to control and when to let go.

There are a number of "uncontrollables" that a leader is likely to encounter, such as varying market forces, employees who leave, competition from other companies, and demanding customers. Of course, leaders should also work at reducing the "uncontrollables" as much as they can.
 
In their article "The Quest for Resilience" (Harvard Business Review, September 2003), Gary Hamel and Liisa Valikangas argued that a capacity for continuous, crisis-free renewal is the ultimate competitive advantage in a world of accelerating change. In their view, resilience is about being continually alert to developing trends and forever looking out for new opportunities. We live in turbulent times where nothing can be taken for granted except change. We face complex challenges of new technology, the explosion of knowledge, global markets, diverse workforces, and economic and political turmoil and uncertainty. These, although they present us with unlimited opportunities for growth, can also be causes of deep uncertainty and stress. A leader should be able to navigate this chaotic world with a sense of excitement, adjusting easily to all the change that is occurring.
 
"Companies that ride the currents succeed; those that swim against them usually struggle. Identifying these currents and developing strategies to navigate them are vital to corporate success." Every leader must be resilient, prepared to face the storms of adversity, and nimble when it comes to picking up new opportunities. You must accept that you cannot hope to be effective if you wish to be in control at all times and always try to ensure a certain outcome. If you are blown off course, you should view that as an opportunity to do something new, rather than as a goal that you have failed to reach, and respond by plotting a new course if necessary. When your company is sailing along smoothly in calm waters, don't get lulled into a false sense of security, but use the time to strategize and prepare for the next rapid you might hit. One thing is certain-you will hit one, sooner or later.
 
The survivors of the 2000-2001 Internet bust were those who pulled down their sails, rode the currents and concentrated on survival. Employees' faith in the long-term success of their companies and their trust in leadership were at an all-time low. However, some leaders acted proactively-they communicated and shared information with employees, setting a vision for the future and rallying the troops. They were able to maintain high levels of employee engagement regardless of the poor business climate. These leaders made it clear that, even though they were not meeting financial and business goals, there was faith in the future and that they would survive the storm. And they did.
 
It is not easy to lead during turbulent times, and how a leader handles him/herself and the organization at such times speaks a lot about his/her effectiveness. He/she should be able to admit that he/she might have to let go of control for a while, or let the organization move in unexpected directions. This way, he/she is also learning from the experience and the company is likely to emerge stronger and better for the experience it has undergone.
 
Someone once said, "We can't control the wind, but we have the power to adjust the sails." There are many advantages to knowing when to let go of control. It frees you from trying in vain to solve problems that have no solution, so you can focus on what is retrievable from the chaos. You need to recognize that sometimes it makes better sense to just let go.
 
Leadership provides guidance and direction. Today's leader requires navigation skills to maintain the balance between the skills of their team members, harnessing the strength of each. They also should be able to gauge when they need to step back and let someone else take the lead and, when to assume control again. When the ground is shifting under the company, they need to bring in some sort of change for the better, which might involve a new way of thinking about a particular situation or direction in which to take the company. In tough times, they should be able to return to the basics, the core values of the company, to lie low if necessary, and watch out for new breakthroughs that will take the organization in a positive direction.
 
How do you identify when to navigate and when to control? Well, you need the right cocktail of intuition, preparedness and humility, which comes from experience, introspection and analysis-of learning from previous mistakes.
 
A successful organization is one where the leader is effective and so are the rest of the employees. An employee with the requisite skills can help the leader navigate by pitching in and being proactive when required. At the same time, the employee should be sensitive to the leader's reactions while doing this. When matters take an unexpected or unwelcome turn for the organization, employees should help look for solutions, and work with the leader to try to chart out how to work around the problem and plot a new course. This attitude could make all the difference between sink or swim for the company.
 
Thus, control is good; it's essential, but often, letting go of total control and sensibly navigating is the need of the hour. As a leader, you will be effective only if you know how to tread the fine line between the two.

Onboarding New Employees: An Opportunity to Build Long-Term Productivity and Retention

Until recently, there has not been significant focus on the onboarding of new employees into organizations. Sure, most companies host new hire orientations where benefits are reviewed, codes of conduct are presented, and basic tools such as phones, computers and office supplies are ordered or confirmed. But for many new employees, this is where the efforts stop.
 
Now, however, many organizations are recognizing that onboarding is more than just processing paperwork and completing the checklist for a new hire to start. True onboarding involves making sure employees have the information needed to be effective in their jobs. This needed information often comes in the form of two efforts-training and socialization.
 
Training can involve formal classroom opportunities or can occur when employees model behavior, work with a more experienced colleague, or assist with small portions of larger projects while being "monitored" by someone with the end goal in mind.
 
During the onboarding process, it is also important to consider how to evaluate the performance of new employees. Most existing performance management system criteria do not apply. Instead, it is advantageous to set training and performance benchmarks for new employees that focus on learning rather than performance during the first six to 12 months, depending on the requirements of the employee's role. This learning orientation allows the new employee to take more risks while learning, which based on understanding of the examinations of effective learning methodology, is a necessary element for training success. In addition, organizations would be well served if they worked to reward these new employees on achieving learning goals.
 
Socialization of new employees is the other primary component of successful onboarding processes. This involves introducing new members to the culture and to the accepted practices of the organization, division or business unit in which they now belong. The development of this shared understanding of the organization's formal and information structures and processes can be accomplished in several ways.
 
Organizations may choose to employ formal mentoring programs, where each new member is assigned to partner with one or more tenured peers. Some organizations who are more advanced may choose to create mentoring programs where a newer employee is assigned to a team of mentors from various tenures, job roles, etc. At a minimum, new employees should be assigned one point person to whom they can ask questions, raise concerns or simply exchange information with.
 
Other, less formal opportunities for socializing employees include communicating facts related to the organizational structure, providing relevant contact information or sharing other pertinent information by publishing go-to phone lists and organizational charts.
 
Another important component of socialization for onboarding is helping new members build their own organizational network. Though some employees may do this more naturally, many new hires may need assistance. Employees of all tenure will be more effective when they know who to call, practical turnaround times for assistance, and where to find important information.
 
In addition to creating opportunities that enhance the learning and socialization of new employees, another practice gaining momentum is surveying new hires to better understand their experiences. These surveys are occurring within organizations that either do or do not offer these formal practices for bringing new employees into organizations.
 
Onboarding surveys are typically constructed to ask new employees about integrating into the organization. Specifically, the surveys seek opinions on job tasks, direct managers/leaders and team members to determine if the employees' experiences are meeting the expectations they held when entering the organization. These surveys provide organizations with a means to evaluate how well they are able to retain and engage newer employees and can provide opportunities to explain performance differences at the employee and work team levels.
 
Regardless of where your organization stands in bringing new employees into the fold, or your level of effectiveness in executing on these processes, the importance of a successful onboarding, or enculturation process can no longer be overlooked. In fact, the potential consequences that an effective, or ineffective, onboarding process can have on new employees, their retention in the organization, and ultimately, their performance, should provide the justification for you to consider examining the ways that our organization can improve its onboarding processes.
 
Figure 1 below provides a brief illustration of the ROI of an effective onboarding program that develops new employee learning, socialization, etc. An employee on a rigorous three month onboarding program will bill at 30 hours per week at $300/hour after three months of employment. This is relative to an employee on a less rigorous program. Because the individual is less proficient and the company is not billing the client for the learning curve, it is only billing 18 hours per week at $300 per hour. In this simple example, the revenue gain for the rigorous onboarding program is approximately $65,000 per employee per year.

Men Need Balance, Too

Men Need Balance, Too

Companies Are Recognizing the Need to Provide Men Work Life Balance
Research conducted by the Kenexa® Research Institute o(KRI) evaluated male workers’ opinions of work/life obalance. The report is based on the analysis of data drawn from a representative sample of 10,000 U.S. workers who were surveyed through WorkTrends™, KRI’s annual survey of worker opinions.
 
Men are playing a larger role in out-of-work responsibilities and, therefore, feel the pressure of balancing work and family demands. Due to the competing pressures from both work and home, men are becoming more aware of their organizations’ efforts to allow for the fulfillment of work/life balance.
 
The results from the latest study indicate that 21% of men have unfavorable views of their company’s work/life balance support, while 55% have favorable views. For all male workers studied, working in an organization that does not support work/life balance has a significant, unfavorable impact on how these workers rate their pride in their organization, willingness to recommend it as a place to work and their overall job satisfaction. Additionally, those male employees who have unfavorable views of their company’s support for work/life balance state a much higher intention to leave the organization.
 
Working for a company that does not support work/life balance also negatively impacts male workers’ views of their work and company. Men are less likely to report that their work provides a feeling of personal accomplishment, that people cooperate to get the job done and that they like work itself. These workers also have lower ratings of confidence in the future of the company and job security.
 
Not surprisingly, men who do not believe their company supports work/life balance also have more unfavorable opinions of their company’s management. They are less likely to feel that their manager treats employees fairly, that management shows concern for the well-being and morale of team members and that senior management demonstrates employees are important to the success of the company.
 
“We know that men are feeling the pressures from both work and home. Men who do not experience company support for work/life balance are also less satisfied their job and organization. In order to be successful in competing for and retaining talented employees, organizations must be willing to recognize an employee’s need for balance and should work toward creating policies that equally support both men and women. Some are doing a much better job than others. Those who are have achieved a marketplace advantage,” said Jack W. Wiley, Ph.D., executive director, Kenexa Research Institute.
 
Database Overview

The Kenexa WorkTrends™ database is a comprehensive normative database of employee survey results with comparisons on topics including leadership, employee engagement and customer orientation from workers in Brazil, China, Germany, India, the United Kingdom and the United States.
 
Study Details

The notion of work/life balance has become a popular topic. Many companies are making efforts to help employees better handle the pressures of their jobs as well as their families. The Kenexa Research Institute examined how men felt about their workplaces’ efforts to make this tension more bearable.
 
Survey items were rated using a 5-point Likert-like scale. The percent favorable is the percentage of people who chose either of the two most positive answers (typically “strongly agree” or “agree”).
 
Survey item: “My company supports employees’ efforts to balance work and family/personal responsibilities.

Why You Haven't Heard a New Idea in a Long Time

Why You Haven't Heard a New Idea in a Long Time

Innovation & Creativity is the Solution
Today’s leaders may be educated, knowledgeable and experienced, but many are still struggling to keep their companies competitive in the current economic climate. Their expertise and scientific methods will not help them predict the future in our modern, ambiguous, complex and ever-evolving environment. In these challenging times of economic crisis, leaders will often exert caution, make careful, low-risk decisions and focus on cutting costs to keep their company afloat. However, at a time when constant change has become a way of life, there is also a realization that these strategies will not be effective in the long-term.
 
Steve Jobs once famously said, “The cure for Apple is not cost-cutting. The cure for Apple is to innovate its way out of its current predicament.” And that is what leaders have to do: innovate to find a way out of problems. Innovation has again become a buzz word in the business world. Historically, this is how proactive organizations have succeeded in a competitive environment. It is up to leaders to promote the conditions for creativity and instill a culture of innovation in their organizations. But how should they do that?
 
Psychological constructs of creativity and innovation have been widely researched in the organizational context. Creativity is associated with generating new ideas and concepts by individuals, whereas innovation refers to their successful implementation in practice, often by groups or organizations. Therefore, all innovation starts with creativity. However, as they are both separate constructs, creativity and innovation require different conditions in order to flourish.
 
ENABLING CREATIVITY

For creativity to take place, an individual must feel appreciated, positive, safe, free from stress and threats to their identity, and know that their new ideas will be appreciated, not ridiculed. The job characteristics also influence levels of individual creativity and these are: skill variety and challenge, meaning and impact of the task, freedom, autonomy in how to perform the job and feedback. And of course we must not forget about motivation; individuals need to be motivated to think creatively. So this is the first tip for leaders wanting to promote the conditions for creativity—it all starts with creating a culture of respect with the right balance of support, variety and challenge, in which individuals can create safely and feel appreciated. How then do you get all those creative individuals to be innovative at the group and organizational level?
 
ENABLING INNOVATION

To take advantage of the creative ideas of individuals, and to foster an organizational culture of innovation, there are four key areas on which leaders should concentrate.
  1. Embrace Diversity
    Each of us has a natural tendency to prefer, hire, notice, reward, develop and trust people who are “like us.” This leads us to “think alike,” and not creatively. To truly foster innovation, a variety of differing perspectives is needed: people with different backgrounds, experiences, knowledge bases, skills, genders, ages, ethnicity, professional orientations and levels within the organization. Of course having a diverse workforce is not enough in itself, it requires appropriate managing and creating an inclusive climate in which everyone can perform to their potential.
  2. Embrace the Challenge and Change
    Change is often seen as threatening. Many of us resist change and we seek to protect “tried and tested” ways of doing things or we defend our own points of view. Such attitudes lead to loss of motivation, reduced morale, unnecessary competitiveness and a decrease in performance. However, in today’s world, change is here to stay. Relying on “tried and tested” solutions is often impossible. Innovation is a challenge and constitutes a threat to the status quo because implementing new ideas requires change. Therefore to foster innovation, leaders must create a culture in which both challenge and change are accepted as norms and sought after.
  3. Devote the Time
    Innovation will only happen when people are explicitly given the time and space to be innovative. We may want innovative solutions but paradoxically we are often too busy, hectic and pressurized to truly achieve them. Of course, some amount of pressure is necessary for innovation, however, in the long-term, reflexivity (having the time to reflect upon objectives, strategies and processes) is one of the key predictors of innovation and performance in groups and individually. The benefit of allowing teams or individuals to reflect on what they do is invaluable.
  4. Communicate Openly
    Communication is vital at all levels and at all times, even when things are difficult. Innovation can only survive in the long-term in an environment where communication is open, challenge is welcome and processes are transparent. This list is by no means exhaustive, as research in the area of creativity and innovation is rich and abundant. There is a wealth of information and advice out there for leaders to absorb.
WHAT GETS IN THE WAY?

So, how come we know so much about creativity and innovation yet we have trouble finding a way forward?
 
It’s not easy to find an all-encompassing answer. However, what comes to mind is the gap between the theory and the practical application of these ideas. As I mentioned earlier, many leaders are well-educated, and may understand the issues and know what is best in the long-term, but in practice they often need to show stakeholders the difference they’re making to the bottom line and so they focus on productivity and efficiency in the short-term. That is why for innovation to truly become part of the organizational culture it must be entrenched in organizational values. To achieve this, leaders must not only create the culture but they must also live the values themselves, not only by providing appropriate direction and putting structures in place but also by making time to foster their own creativity. They must make efforts to notice and reward creativity and innovation, not just productivity. They must not be afraid of conflict and diversity but should encourage people to have different opinions, as these can lead to innovative solutions.
 
The same can also be said for us internal and external consultants in our capacity as advisers to businesses. We should educate our clients and encourage them to create climates and cultures of innovation. Sometimes that requires stepping back from the project or deadline and giving ourselves time for reflexivity.

Sunday, February 5, 2012

Sejarah Maulid Nabi

Sejarah Maulid Nabi


Beberapa hari lagi kita akan menyambut kelahiran junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang dinyatakan di dalam al-Quran bahawa baginda mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada cahaya. Jika sebelum kedatangan baginda umat manusia hidup bertopengkan hawa nafsu, siapa yang kuat dan berkuasa dialah penguasa, siapa yang miskin dia menjadi hamba. Tetapi kedatangan Rasulullah mengajar erti sifat kemanusiaan bukan sifat kehaiwanan. Atas dasar cinta dan kasih sayang kepada Baginda,pelbagai acara dibuat untuk melahirkan kasih dan sayang kepada Baginda antaranya mengadakan  acara perarakan. Berikut sejarah sambutan yang berbentuk perarakan dan nyanyian yang memuji nabi.



Di antara fakta sejarah mencatatkan bahawa sambutan ini mula diadakan secara rasmi oleh ipar kepada Sultan Salahuddin Al-Ayubi, iaitu Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi penguasa daerah di Irbil, Syria Utara. Sambutannya dibuat secara sederhana dengan majlis doa dan majlis selawat. Kemudian Sultan Salahuddin mengangkat sambutan ini keseluruh pelusuk Kerajaannya dengan niat untuk menyemarakkan syiar agama dan bukannya perayaan yang bersifat ritual semata-mata. Sultan Salahuddin juga mengunakan perayaan berkenaan untuk membangkitan rasa cinta kepada perjuangan Rasulullah dan memberikan semangat kepada tentera Islam yang dipimpinnya untuk menghadapi perang Salib ketika itu. Sambutan pertama diadakan oleh Sultan Salahuddin pada 1184 (580 H) dengan mengadakan pertandingan sayembara puisi khas untuk Rasulullah. Pertandingan ini dimenangi oleh Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim yang menulis puisi panjang bertajuk 'Iqd Al-Jawahir (ertinya kalung permata). Puisi inilah yang dibukukan dan dipanggil oleh orang-orang Melayu sebagai buku Barzanji yang diambil sempena nama penulisnya.

Adapun perarakan yang dibuat Sultan lebih kepada perarakan tenteranya yang beramai-ramai ke medan perang sehingga sebahagiannya menemui syahid, sedang yang sebahagian lagi yang masih hidup berjaya menakluki Baitulmaqdis pada 1187 (583 H). Akhirnya sambutan ini telah menjadi tradisi dibeberapa negara termasuk di Malaysia. Walaubagaimana pun sambutannya bukanlah perkara yang diwajibkan dalam Islam, begitu juga jika mahu mengadakan perarakan kerana Islam lebih menuntut umatnya mengamalkan sunnah Rasulullah dan menjunjung Islam sebagai panduan hidup.

Majlis Fatwa Kebangsaan sebelum ini pernah mengharamkan majlis sambutan dan perarakan Maulidur Rasul yang didalamnya wujud percampuran antara lelaki dan perempuan. Walaubagaimana pun Fatwa itu dilanggar dan hingga kini masih lagi berlaku percampuran lelaki dan perempuan terutamanya dalam sambutan diperingkat Kebangsaan dan Negeri. Yang penting umat Islam wajib menunaikan perkara wajib iaitu mengikuti Sunnah Rasulullah dan mengangkat Al-Quran sebagai perlembagaan hidup berbanding melakukan perkara-perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.

Kita lihat sahaja, setiap kali ada sambutan dan perarakan, wang rakyat akan dihabiskan untuk menempah baju baru kepada peserta perarakan dan mengundang penyanyi-penyanyi untuk berhibur sedangkan tidak semua rakyat dapat hadir ke dalam majlis itu. Sebaiknya wang berkenaan digunakan untuk membantu fakir miskin yang masih wujud dinegara ini. Tidak mengapa jika perarakan tidak diadakan kerana boleh digantikan dengan program lain seperti kuliah, berzanji dan majlis-majlis lain yang melibatkan rakyat kebanyakkan diseluruh pelusuk Masjid dan surau dinegara ini.

Keluarga Bahagia

Keluarga Bahagia

By: Muhamad Agus Syafii

Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga idiomnya menjadi keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang gagal karirnya di luar rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia. Sebaliknya orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan, maka ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun sukses diraih, tetapi kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula pada pola hidupnya yang tidak bahagia. Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-anak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan, ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan,semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga. Sacara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian. Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar yang merupakan konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam wujud bangunan itu.

Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki konsep tentang keluarga bahagia. Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada selera non gizi yang menjadi konsepnya. Demikian seterusnya tempat tinggal (papan) , kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara sosiologis psikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang sebagai parameter kebahagiaan. Isteri bukan sekedar perempuan teman ngobrol dan ibu dari anak-anak, suami bukan sekedar lelaki, teman dikala sepi, ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa melakukan 'Free Love' dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan jiwa. Menuju keluarga bahagia yang Islami, biasanya disebut dengan Keluarga Sakinah. Sebuah keluarga yang dilandasi dengan ketaatan kepada Allah & menjauhi semua laranganNya sehingga keluarga seperti inilah menjadi keluarga yang diberkahi oleh Allah di dunia & diakhirat.

Wassalam,
Muhamad Agus Syafii

DARI MANAKAH KITAB AMAL KITA TERIMA

DARI MANAKAH KITAB AMAL KITA TERIMA
Bersumber Qs:45; 28,29 : Qs:17,13,14
:Qs :69:19 s/d 21, 25,26
 Qs,84: 7s/d 12, Qs 90:18 s/d 20

Pada hari dimana tiap umat
berlutut
Tiap-tiap umat dipanggil untuk
melihat buku catatan amalnya
Kitab yang menuturkan terhadapmu
dengan benar
Sebuah kitab yang mencatat semuanya
yang telah kita lakukan
Sebuah kitab yang tidak
meninggalkan yang kecil juga yang besar
Sebuah kitab yang kita jumpai
terbuka
Yang diperintahkan kepada kita
untuk membacanya

Adapun orang-orang yang diberikan
kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya,
Mereka adalah orang-orang yang
beriman
Mereka berkata: "Ambillah,
bacalah kitabku (ini)".
Sesungguhnya aku yakin, bahwa aku
akan menemui hisab terhadap diriku.
Dia berada dalam kehidupan yang
diridhai,
Dia akan diperiksa dengan
pemeriksaan yang mudah,
Dia akan kembali kepada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira.

Adapun orang yang diberikan
kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya,
Mereka adalah orang-orang kafir
terhadap ayat-ayat Kami
 Mereka berkata: "Wahai Alangkah baiknya
kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).
Dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku.
Dan mereka masuk dalam neraka yang
ditutup rapat

Adapun orang-orang yang diberikan
kitabnya dari belakang,
Maka Dia akan berteriak:
"Celakalah aku".
dan Dia akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala (neraka).

Mengapa Doa Kita Tidak Diterima?

Mengapa Doa Kita Tidak Diterima?

By: Muhamad Agus Syafii

Kualitas manusia jangan hanya dilihat dari sudut fisik, tapi hendaknya juga dilihat dari sudut jiwanya atau hatinya. Al Qur’an sangat menekankan pensucian jiwa (tazkiyyat an nafs) dan menghidupkan hati (hudur al qalb). Perbuatan manusia hanya bermakna jika disertai kesadaran hati, oleh karena itu Allah hanya menilai perbuatan manusia yang berpijak pada  kesadaran hati. Demikian juga doa kepada Allah, yang didengar bukan bunyi kata-kata, tetapi kesadaran hati orang yang berdoa. Menurut Hadis Riwayat Tirmizi, Allah tidak mendengarkan dan tidak mengabulkan doa dari orang yang hatinya lalai (min qalbi ghafilin lahin).

 Syahdan, Ibrahim bin Adham, seorang ulama besar abad pertengahan suatu hari berjalan di tengah pasar kota Basrah, Irak. Melihat ulama besar kharismatis yang langka itu, penduduk Basrah tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu, untuk bertanya. Ketika itu masyarakat Basrah sedang dilanda kemelut sosial yang sangat melelahkan, dan solusi tak kunjung ditemukan, bahkan doapun  terasa tidak membantu memperbaiki keadaan. Penduduk Basrah pun mengadu kepada ulama  tersebut.

Wahai Aba Ishak (nama panggilan akrab Ibrahim bin Adham),  Allah berfirman dalam Al Qur’an agar kami berdoa. Kami warga Basrah sudah bertahun-tahun memanjatkan doa, tetapi kenapa doa kami tak dikabulkan ?

Ibrahim bin Adham menjawab:  Wahai penduduk Basrah, hati kalian telah mati dalam sepuluh perkara, bagaimana mungkin doa kalian akan dikabulkan Allah!

1. Kalian mengakui kekuasaan Allah, tetapi kalian tidak memenuhi hak-hak Nya.

2. Setiap hari kalian membaca Al Qur’an, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya.

3. Kalian selalu mengaku cinta kepada Rasul, tetapi kalian meninggalkan pola perilaku sunnah-sunnahnya.

4. Setiap hari kalian membaca ta‘awudz, berlindung kepada Allah dari syaitan yang kalian sebut sebagai musuhmu, tetapi setiap hari pula kalian memberi makan syaitan dan mengikuti langkahnya.

5. Kalian selalu menyatakan ingin masuk sorga, tetapi perbuatan kalian justeru bertentangan dengan keinginan itu.

6. Katanya kalian takut masuk neraka, tetapi kalian justeru mencampakkan dirimu sendiri ke dalamnya.

7. Kalian mengakui bahwa maut adalah keniscayaan, tetapi nyatanya kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

8. Kalian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap kesalahan dirimu, kalian malah tidak mampu melihatnya.

9. Setiap saat kalian menikmati karunia Allah, tetapi kalian lupa mensyukurinya.

10. Kalian sering menguburkan jenazah saudaramu, tetapi kalian tidak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa itu.

Wahai penduduk Basrah, ingatlah sabda Nabi: Berdoalah kepada Allah, tetapi kalian harus yakin akan dikabulkan. Hanya saja kalian harus tahu bahwa Allah tidak berkenan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan main-main.


Wassalam,
Muhamad Agus Syafii
--
Sahabatku yang "single" ingin segera menikah. Jangan berputus asa, memohonlah pd Allah maka Allah akan kirimkan jodoh yg terbaik dari sisiNya untuk anda. yuk..hadir di kegiatan "Secercah Harapan Untuk Amalia (CERIA)", Ahad, 15 April 2012. Jam 8 s.d 12 pagi di Rumah Amalia. Bila  berkenan berpartisipasi dlm bentuk buku bacaan, DVD IPTEK, baju baru, peralatan sekolah, paket sembako, konsumsi silahkan kirimkan ke Rumah Amalia, Jl. Subagyo IV blok ii, No. 24 Komplek Peruri, Ciledug, Tangerang 15151. Dukungan & partisipasi anda sangat berarti bagi kami. Info: agussyafii@yahoo.com atau SMS 087 8777 12 431, http://agussyafii.blogspot.com/
 

NU Jateng Ajak Waspadai Pemalsuan Kitab oleh Wahabi

NU Jateng Ajak Waspadai Pemalsuan Kitab oleh Wahabi

Semarang, NU Online
Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah KH A’wani mengajak segenap ulama dan warga NU untuk mewaspadai pemalsuan kitab yang dilakukan oleh sekte Wahabi. Baik versi cetak kertas maupun versi digital.

Menurutnya, sudah banyak ditemukan pemalsuan kitab karangan ulama sunni oleh penerbit buku di Libanon maupun Arab Saudi. Bahkan indikasi kuat aksi jahat itu disponsori pemerintah suatu negara.

Kepada NU Online di Semarang, pengasuh pesantren Al-Musthofa Lodan Wetan Sarang Rembang, ini menjelaskan, pemalsuan kitab itu juga dilakukan dengan membuat nama penerbit yang mirip. Seperti Darul Kutub Al-Ilmiyah untuk mengecoh masyarakat muslim atas nama penerbit asli Darul Fikr Libanon.

“Mari mewaspadai pemalsuan kitab oleh sekte Wahabi. Gerakan mereka semakin meresahkan. Kitab-kitab untuk kalangan pesantren pun telah dipalsukan. Dengan ditambahi atau dikurangi isinya agar sesuai dengan ideologi Wahabi,” jelasnya.

Pihaknya bersama para kiai NU pernah meneliti kitab-kitab yang beredar di Arab Saudi maupun di Jakarta. Ternyata, sebagian kitab yang populer di kalangan pesantren telah diubah isinya. Dipalsukan pula pengarangnya.

“Kita tentu masih ingat pemalsuan kitab Sirojut Tholibin karangan Kiai Ihsan Jampes Kediri. Kitabnya dipalsukan, nama beliau dihapus, diganti Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Lalu kitab hadis Al-Adzkar dihapus isinya tentang tawashul (doa dengan perantara) dibuang agar sesuai dengan ideologi wahabi,” terangnya.

Kiai A’wani meminta jam’iyyah NU serius menyikapi ini. Jika perlu membuat semacam petisi seperti pada peristiwa latar belakang pendirian NU. Yaitu komite Hijaz yang dibentuk KH Hasyim Asy’ari dengan misi menentang penghancuran makam-makam keluarga Nabi dan para sahabat kala Ibnu Saud hendak mendirikan Kerajaan Arab Saudi lewat pemberontakan terhadap Khalifah Turki Usmani.

Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Ichwan

Sumber:

Antara benar dan merasa benar

Antara benar dan merasa benar

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.

Sahabat seiman..,
Hari berganti kembali, semoga yang terlewat menjadi nasihat, dan kesempatan yang diberi kembali menjadi bukti bahwa kita serius memperbaiki. Sungguh, Bila kita telusuri, Setiap gerak, setiap sikap meninggalkan pelajaran, andai diri sigap seharusnya setiap mentari pagi terbit semakin mendewasakan diri.

Sahabat seiman..,
Setiap kita selalu berusaha melakukan yang benar, namun siapakah diantara kita yang berusaha menyesuaikannya dengan kebenaran Ilahi.? Setiap kita selalu mengaku siap melakukan kebenaran, namun siapakah yang siap menerima teguran? Siapakah diantara kita yang lebih sibuk memperbaiki kekeliruan daripada membenarkannya?

Sahabat seiman..,
Siapa yang menyangka sebuah kekeliruan, Rasulullah SAW pun pernah menilainya sebagai kebenaran, Ketika Rasulullah SAW fokus berdakwah kepada bangsawan Quraisy, si miskin dan Buta Abdullah Bin Ummi Maktum datang ingin bertanya terlihat seolah mengganggu, tabi'at kemanusiaannya pun terlihat Beliau bermuka masam.

Namun saat Allah SWT menegur menurunkan surat 'abasa, tak sedikitpun Beliau melakukan pembelaan meskipun memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sahabat seiman..,
Sungguh, Orang yang rugi bukan yang melakukan kekeliruan, tapi yang tidak mendapat teguran, atau menolaknya dan tersinggung lalu memusuhinya. Sahabat, Carilah teguran, jangan menghindarinya, selamat beraktifitas! (@_SaiBah)